Rabu, 13 Oktober 2010

Bangunan Tahan Gempa

INDONESIA KEMBALI MENANGIS..........
BENCANA DEMI BENCANA SEOLAH TANPA HENTI........

Marilah Kita semua menundukkan kepala sejenak
untuk mendoakan saudara2 kita yang sedang tertimpa bencana, semoga mereka diberi ketabahan dalam menerima cobaan ini....!

Sedih rasanya melihat saudara kita di Padang Sumatera Barat harus menjalani hidup yang begitu berat pasca gempa berskala 7,6 SR yang meluluhlantakkan seisi kota tersebut. Hingga saat ini lebih dari 500 orang meninggal, ribuan lainnya luka-luka dan kehilangan tempat tinggal. 


Mungkin jumlah korban masih akan bertambah setelah proses evakuasi selesai. Hanya manusia yang tidak punya hati nurani yang tidak sedih melihat peristiwa ini.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat setidaknya ada 200 orang korban tewas dan 500 bangunan hancur akibat gempa berkekuatan 7,6 Scala Richter yang mengguncang Sumatera Barat, Rabu (30/9) sore.

Data yang diperoleh pada pukul 02.00 WIB itu, diperkirakan akan terus bertambah mengingat ratusan orang masih belum diketahui nasibnya karena tertimbun di bawah reruntuhan bangunan.

Laporan yang masuk sementara ada sekitar 100-200 korban tewas, 500 bangunan rusak atau hancur. Ada sekitar seratus orang lagi yang masih tertimbun di bawah reruntuhan bangunan, baik yang ada di sekolah maupun di bawah reruntuhan sejumlah gedung itu.

Ada banyak pertanyaan yang harus kita renungkan bersama, Kenapa begitu banyak korban ?, apakah tidak ada cara untuk mengurangi jumlah korban bila terjadi hal yang sama dikemudian hari ? memang bencana alam diluar kuasa manusia tapi kita diwajibkan untuk ikhtiar,

Dari sisi bangunan yang ada kita melihat banyak sekali bangunan yang rusak  baik sebagian maupun keseluruhan.

Dampak gempa apapun tergantung pada sejumlah faktor dengan besaran yang berbeda-beda, Faktor ini semua :
  • Intrinsik gempa bumi - yang besar, tipe, lokasi, atau kedalaman;
  • Kondisi geologi di mana efek yang dirasakan - jarak dari peristiwa, jalur gelombang seismik, jenis tanah, kejenuhan air tanah, dan
  • Kondisi masyarakat bereaksi terhadap gempa - kualitas konstruksi, kesiapan rakyat, atau waktu dalam sehari (misalnya: jam sibuk).
Apakah sudah ada semacam tekhnik konstruksi yang dikembangkan di Indonesia yang sudah bisa diterapkan dalam membuat bangunan yang tahan gempa? Apakah ITB atau perguruan tinggi lainnya sudah melakukan penelitian dan memiliki hasil penelitian yang langsung bisa diterapkan oleh mereka yang berkecimpung di bidang konstruksi? Apakah para tukang insinyur yang berhubungan dengan masalah konstruksi sudah benar-benar memahami desain konstruksi yang tahan gempa?"
 
Kalau jawaban dari semua pertanyaan itu adalah "YA", maka masalahnya menjadi cukup mudah.. Tetapi kalau jawaban dari semua pertanyaan itu adalan "TIDAK", maka itu artinya masih banyak masalah yang memang harus dibenahi.

Indonesia telah mempunyai peraturan gempa yang modern. Dalam membuat peraturan tersebut para ahli telah mempelajari berbagai sumber dan besaran gempa yang pernah terekam, disertai kedalaman dan jenis patahan batuan.

Teknik gempa pun sudah masuk dalam kurikulum perguruan tinggi, sayangnya para praktisi masih lambat dalam mengadopsi peraturan yang ada. Kesadaran pemilik proyek akan kualitas struktur bangunan pun belum banyak muncul. Kebanyakan dari mereka masih terlalu berkonsentrasi pada nilai ekonomi proyek dan keindahan gedung. Pengetahuan para arsitek sendiri tentang struktur tahan gempa masih sangat terbatas , demikian juga dengan masyarakat kadang mereka tidak perduli dengan kualitas design rumah mereka , yang terpenting adalah keindahan dan keindahan.

Teryata kita bisa melihat sesuatu yang kontradiktif antara teori dan praktik di lapangan. Di satu sisi Indonesia telah memiliki peraturan gempa yang modern, tekhnik gempa pun sudah masuk dalam kurikulum, tetapi di sisi lain para praktisi masih lambat dalam mengadopsi peraturan tersebut dan masih banyak arsitek yang pengetahuannya tentang struktur tahan gempa masih sangat terbatas. Artinya, peraturan hanya tinggal peraturan, kurikulum hanya tinggal kurikulum, soal penerapannya mungkin hanya sebatas HITAM DIATAS PUTIH tapi kenyataannya masih jauh dari harapan. 

Kita bisa belajar dari Jepang dalam penanganan masalah bencana khususnya gempa.


9 tahun lalu, Kobe juga tergoyang gempa dengan kekuatan 7,3 Magnitude. Korbannya adalah 43 ribu orang terluka parah, 6.400 kehilangan tempat tinggal, 7.500 gedung terbakar, dan 350 ribu orang dievakuasi (The Japan Journal, 2004). Dua kasus gempa di Jepang tersebut tergolong besar, sementara gempa kecil sudah merupakan menu rutin masyarakat Jepang. Bagaimana kita belajar dari mitigasi bencana gempa di Jepang?
Model pembangunan pascagempa
The Japan Journal edisi Desember 2004 kebetulan juga mengungkap bagaimana kita dapat belajar dari penanganan gempa di Kobe. Edisi ini ditujukan untuk memperingati sepuluh tahun gempa Kobe yang terjadi pada 17 Januari 1995 yang lalu. Ada beberapa aspek penting dalam pembangunan pascagempa di Kobe.

Pertama
adalah langkah penyelamatan dan pemulihan. Dalam rangka penyelamatan korban gempa di Kobe, pada hari pertama terdapat sebanyak 20 ribu relawan, namun dalam tiga bulan jumlah relawan menjadi 1,13 juta orang. Dan, secara total telah mencapai 1,4 juta relawan. Mereka bertugas membersihkan puing-puing gempa, menjembatani antara pemerintah dan korban, menyediakan makanan, dan lain sebagainya.

Memang diakui bahwa persoalan banyaknya jumlah relawan tersebut juga ada, mengingat tidak semua relawan punya pengalaman dan keahlian. Sehingga, konflik pun muncul. Namun bagi Jepang waktu itu, justru nilai kesetiakawanan (volunteerism) itulah yang penting. Semangat untuk membantu sesama itulah yang mereka junjung. Karena itulah tahun 1995 disebut sebagai sebagai Year One of Volunteerism.

Kedua
adalah rekonstruksi. Pada Juli 1995, pemerintah baru mengeluarkan Hyogo Phoenix Plan, yang tidak saja mengembalikan infrastruktur dan pelayanan sebagaimana sebelum gempa. Lebih dari itu, mereka berorientasi pada creative reconstruction yang diarahkan untuk memenuhi kebutuhan era baru dan masyarakat matang (drive to maturity). Tampaknya mereka meminjam kerangka Rostow dalam model pembangunannya. Mereka punya visi ''mewujudkan masyarakat baru menyongsong abad 21, dan menciptakan kota tahan gempa sehingga warga bisa merasa confident''.

Yang jauh lebih penting adalah cita-cita mature society tersebut, dimana upaya membangun creative civil society yang berbasis kerja sama antara warga dan pemerintah menjadi visi besarnya. Termasuk dalam rekonstruksi ini warga dilibatkan dengan diberi kesempatan membentuk Komite Rekonstruksi yang didampingi konsultan profesional. Mereka sebagai mitra pemerintah dalam rekonstruksi ini. Sehingga, langkah pertama pemerintah dalam rekonstruksi ini adalah mengundang warga mendiskusikan proyek rekonstruksi fisik. Baru pada tahap kedua diskusi sosial-ekonomi.

Dalam tiga tahun, seluruh infrastruktur, seperti jalan, rel kereta api, dan sarana komunikasi lainnya selesai, dan bahkan jauh lebih bagus dari sebelumnya. Begitu pula lapangan kerja dan perumahan baru telah dibuka, serta creative civil society terbentuk. Dan, dari survey terhadap korban bencana, ditemukan bahwa 82,8 persen responden mengatakan sudah pulih. Jadi, tidak hanya rekonstruksi fisik dan ekonomi yang terjadi, tetapi juga rekonstruksi sosial-politik.

Ketiga
adalah keselamatan dan keamanan. Pascagempa pemerintah Kobe mendorong adanya komunitas pencegahan bencana dimana warga disiapkan untuk siap setiap saat ketika terjadi gempa. Selain itu langkah antisipasi bencana kemudian menjadi agenda nasional dengan mempersiapkan jaringan komunikasi yang lebih baik yang kondusif pada saat-saat darurat. Ini mengingat mereka sadar bahwa langkah pemerintah Kobe pada saat bencana terjadi dianggap lambat karena karena lemahnya sistem komunikasi darurat.

Perbaikan sistem ini ternyata berhasil ketika Oktober 2004 lalu, Niigata dihantam gempa. Dalam tujuh menit, angkatan bersenjata Jepang sudah bertindak dan 30 menit kemudian informasi sudah terkumpul. Lalu, pemerintah provinsi lainnya, Hyogo, langsung mengirim ahli pemulihan gempa, pembangunan perumahan darurat, menilai tingkat bahaya rumah yang rusak, menyediakan tim kesehatan, serta pelayanan spiritual dan psikologi.

Model penyuluhan gempa
Masyarakat Jepang kini sangat sadar betapa gempa setiap saat mengancam. Ini adalah wujud dari keberhasilan penyuluhan gempa. Saat ini, tidak hanya konstruksi rumah dan gedung yang banyak dibuat tahan gempa, serta bagaimana cara menata peralatan furniture supaya tidak jatuh, tetapi juga mereka telah disiapkan dengan langkah-langkah dalam menghadapi gempa. Langkah-langkah praktis tersebut dikenalkan di sekolah-sekolah dasar, termasuk bagi setiap warga asing yang akan tinggal di Jepang.

Disamping sering berupa peragaan, juga disebarkan buku kecil yang berisi prosedur darurat gempa dalam bentuk gambar dan tulisan yang singkat, padat, menarik, dan mudah dipahami. Sebagai contoh, di Jepang, diajarkan bahwa langkah pertama adalah mencari selamat dengan diam di bawah meja dengan bantal di atas kepala. Ini dimaksudkan untuk melindungi kepala dari benda-benda yang mungkin jatuh dan mengenai kepala kita. Ini berbeda dengan di Indonesia, yang terbiasa langsung lari keluar gedung atau rumah yang ditujukan untuk menghindari reruntuhan. Selain itu, di Jepang, sebagian dari mereka juga dianjurkan untuk cepat membuka pintu, namun hanya untuk mempermudah akses keluar setelah gempa berhenti, dan bukan untuk lari keluar gedung.

Langsung keluar gedung dianggap lebih beresiko, daripada diam di bawah meja. Ini mengingat banyaknya gedung-gedung tinggi di Jepang. Bila api kompor masih menyala, sangat dianjurkan untuk lebih dulu mematikan gas, dan kalau api sudah mulai menyala besar sebagai tanda kebakaran mereka mesti mematikan dengan pemadam kebakaran yang harus disediakan di setiap rumah. Dalam buku kecil tersebut juga dijelaskan soal tsunami. Ini dikhususkan bagi mereka yang tinggal di dekat pantai. Begitu terjadi gempa, langkah pertama harus mencari tempat atau lahan yang tinggi. Tsunami biasanya datang begitu cepatnya setelah gempa.

Seluruh prosedur seperti itu sudah mendarah daging pada masyarakat Jepang. Tentu ini merupakan salah satu keberhasilan program penyuluhan antisipasi gempa. Hal ini ditambah lagi dengan peran televisi yang selalu menyiarkan warning yang diberikan lembaga-lembaga riset yang ada. Begitu terjadi gempa, dalam kurang dari dua menit telah ada tulisan di setiap program TV bahwa telah terjadi gempa dengan rincian kekuatannya. Tidak hanya gempa, bencana angin taifu juga selalu mengancam. Namun, angin taifu dapat lebih dini terdeteksi dan disiarkan TV seminggu sebelumnya. Pergerakan angin taifu di pasifik selalu diperlihatkan di layar TV setiap saat, sehingga kita tahu dimana posisi angin taifu. Artinya, masyarakat memang telah disiapkan untuk menghadapi bencana, dengan sistem deteksi dini, sistem diseminasi informasi, serta prosedur standar saat terjadi bencana.

Namun, meskipun sudah begitu maksimalnya upaya untuk mitigasi bencana, Jepang masih kewalahan juga menghadapi bencana seperti gempa yang terjadi di Niigata, serta serangan taifu selama September-Oktober yang lalu. Apalagi bagi kita yang memang kurang siap dan kurang peduli akan hal-hal seperti itu.

Karena itu, hikmah terbesar yang bisa kita ambil dari kasus gempa ini adalah bahwa pemerintah Indonesia harus mulai sadar tentang pentingnya mitigasi bencana alam. Dari mulai sistem deteksi dini yang memang mengandalkan riset, sistem informasi darurat, manajemen rehabilitasi pascagempa, serta penyuluhan gempa. Bencana memang di luar kehendak kita, sehingga yang bisa kita lakukan adalah memaksimalkan usaha antisipasi untuk meminimalkan dampak yang bisa terjadi akibat bencana yang mungkin terjadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar